Showing posts with label Isu Rame. Show all posts
Showing posts with label Isu Rame. Show all posts

Jun 1, 2009

Ada Bagi-Bagi Berlian Gratis Lho?


Di Tokyo, ada-ada aja ulah orang. Di tengah keadaan krisis ekonomi yang melanda seluruh dunia ini, ada perusahaan perhiasan asal Perancis Mauboussin, kok malah bagi-bagi 5.000 berlian secara gratis. Bayangin aja masing-masing batu berliantersebut yang berkadar 0,1 karat itu senilai dengan 5.000 yen atau lebih dari Rp745.000.

Kalau dipikir-pikir emang gak masuk akal sih. Tapi, ternyata pembagian berlian gratis itu ada maksdunya, untuk promosi cerdas untuk menghindar dari resesi ekonomi. Bagi konsumen yang membeli cincin, kalung, dan jenis perhiasan lainnya, perusahaan juga menawarkan pemasangan gratis berlian itu ke perhiasan yang dibelinya. Coba ini di Indonesia, pasti yg ngantri sudah melebihi seperti antrian Ponari. Hmm.. jd, kalo mau berlian gratis, cepet-cepet ya ke Tokyo, smoga belum habis :).

Sumber: http://www.pcblue.com/to-blow-away-the-recession-french-jewelry-store-mauboussin-gives-away-5-000-diamonds-free-in-japan/

Read More......

May 28, 2009

Kalau Facebook Haram, Blogger Juga donk!!

Belum lama ini tentu rekan-rekan tahu semua kalau ada fatwa (dari Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) dan MUI Kediri) yang menyatakan kalau facebook (FB) tuh hukumnya haram. Alasannya karena dapat menyebabkan dekadensi moral dalam masyarakat kita. Jadi intinya situs jejaring itu hukumnya gak boleh karena dapat merusak akhak penggunanya. Nah bagaimana dengan blogger? Ko' cuman FB sama FS saja yang haram, blogging halal donk? Apa blogging berbeda sekali dengan FB? Atau blog sama sekali tidak merusak moral? Atau mungkin yang memberi fatwa juga ngeblog? hehe...

Anyway, begitulah apa adanya. Memang kok, demam Facebook sudah menjadi fenomena alamiah untuk para netter saat ini. Hampir semua pengguna internet dapat dipastikan menjadi anggota dalam situs jejaring sosial itu. Apalagi kalau orang tersebut sudah bergaul dengan internet dalam waktu yg cukup lama, dijamin deh akan punya akun facebook. Istilah anak mudanya, "gak gaul" donk kalo nggak punya akun di facebook. Btw, dah pada punya akun facebook lum..:-D

Nah sekarang, bener gak blog itu beda dengan FB atau FS? Kalau jawabannya beda enggak jadi masalah mengenai fatwa haram itu. Tapi kalau jawabannya sama trus gimana donk? Bisa repot deh para blogger hehe.. Sebenarnya kalau dilihat-lihat dan ditimang-timang (hehe kayak apa aja), dalam situs jejaring seperti facebook, situs bloger juga gak jauh beda lho. Maksudnya dalam artian fungsi dan kegunaan yang bisa dimanfaatkan. Jika facebook adalah situs jejaring atau bahasa londonya social network dalam dunia maya, maka blogging juga sama, para blogger menjalin hubungan dan keakraban di antara teman-temannya melalui fasilitas yang ada dalam blognya masing-masing. Bahkan kalau dibandingkan antara keduanya, seperti misalnya blogging dalam situs blogger.com, para blogger dapat menikmati fasilitas dan banyak kelebihan yang tidak ditemui dalam situs jejaring sosial seeprti facebook. Belum lagi kelebihan lain seperti media untuk menghasilkan uang. Blogger dengan fasilitas dan kreatifitas yang dimilki dapat melakukan apa saja dengan mendesign blognya. Dijamin deh blog gak akan kalah dengan facebook. Mungkin repotnya, kalau blogging lebih rumit sedikit dalam pengaturannya dibanding situs jejaring yang lebih mudah plus simpel bagi pemakainya.

Nah pertanyaan selanjutnya, jika blog sama dengan FB berarti hukumnya gak boleh juga donk? Jawabannya ya iya memang haram tapi khusus bagi mereka yang merasa hal itu memberi dampak negatif bagi penggunannya. Tapi dalam hal ini semua mesti objektif, kita tidak boleh melihat secara sepihak. Tidak bisa kita lihat kalau sesuatu dapat sedikit berdampak negatif lantas tidak diperbolehkan, tanpa melihat sisi positifnya yang lebih besar. Ibarat pisau, senjata api, motor dll. kalau semua digunakan dalam yang tidak baik tentu bukan saja haram, bisa-bisa dibuhi sama polisi orang yang menggunakannya. Tapi kalau semuanya digunakan sebaik-baiknya, dan dapat bermanfaat secara umum, justru semua itu tentu dianjurkan. Apalagi sekarang memang jamannya teknologi, kalau gaptek terus gimana bangsa ini mau maju....??

Read More......

May 17, 2009

Jalan Neoliberal Pak Bud

Berhubung waktu nulis ini isu tentang pro-kontra Budiono-Neoliberal belum selesai, maka di sini bagus juga dibaca artikel-artikel yang berkaitan dg isu tersebut sekedar sebgai info tambahan. Bagi pendukung capres Budiono, jangan khawatir, di tempat lain juga insy Allah diposting juga artikel lain yang menyanggah tulisan ini. Namanya juga pro-kontra, tergantung siapa yang memandang, penilaian itu akan kita temukan. intinya kita mesti objektif dalam melihat sesuatu. Jangan sampai kita gak tau menahi mengenai sesuatu langung menghukumi suatu. Met membaca.

Tanggal : 28 Feb 2007

Sumber : media indonesia

Prakarsa Rakyat,
* Oleh: Revrisond Baswir, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Yogyakarta

PIDATO pengukuhan DR Boediono sebagai guru besar ekonomi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menarik untuk dicermati. Peristiwa itu tidak hanya penting karena berkaitan dengan puncak karier seseorang sebagai staf pengajar perguruan tinggi.

Pada saat yang sama, sebagai seseorang yang sedang menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomi, peristiwa itu juga penting karena mengungkapkan garis pemikiran Boediono dalam melaksanakan tugas pemerintahannya.

Pertanyaan besar yang dicoba dijawab Boediono dalam pidato pengukuhannya itu secara singkat berbunyi sebagai berikut, apakah kita sudah berada di jalan yang benar? Walaupun Boediono memiliki latar belakang sebagai ekonom, pertanyaan besar itu tidak ia ajukan hanya untuk menilai perjalanan perekonomian Indonesia.

Melainkan juga untuk menilai perjalanan perpolitikan Indonesia. Artinya, secara keseluruhan, pertanyaan besar yang dicoba dijawab Boediono ialah, apakah secara ekonomi dan politik Indonesia sudah berada di jalan yang benar?

Dalam menjawab pertanyaan besar itu, Boediono membagi isi pidatonya dengan mengupas tiga pokok bahasan. Pertama, mengenai sejarah perekonomian Indonesia. Kedua, mengenai hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dengan demokrasi.

Dan ketiga, mengenai kebijakan ekonomi yang perlu menjadi prioritas Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Halaman yang dihabiskan Boediono untuk membahas ketiga pokok bahasan itu meliputi 28 halaman. Sedangkan referensi yang diacunya berjumlah 24 buah.

Semula saya agak terkesima dengan kepedulian Boediono terhadap sejarah perekonomian Indonesia. Lebih-lebih, dalam membahas sejarah perekonomian Indonesia, Boediono tidak hanya menelusurinya sejak akhir atau awal era pemerintahan Soeharto.

Ia menelusurinya jauh hingga ke era pemerintahan Soekarno. Walaupun demikian, setelah mengikuti ulasannya, saya merasa ada sesuatu yang hilang. Bagi Boediono, sejarah ternyata tidak lebih dari rangkaian peristiwa. Artinya, selain cenderung mengabaikan dinamika internasional ekonomi-politik Indonesia, Boediono juga cenderung mengabaikan aspek struktural yang melatarbelakangi dinamika sejarah.

Dengan kecenderungan seperti itu, mudah dimengerti bila Boediono cenderung sangat mudah melupakan era kolonial sebagai bagian integral dari sejarah perekonomian negeri ini.

Padahal, era kolonial ialah bagian teramat penting dari sejarah perekonomian Indonesia. Ia tidak hanya penting karena berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama. Ia juga penting sebab aspek ekonomi adalah aspek utama dari kolonialisme.

Sebab itu, era pemerintahan Soekarno, selain masih terus dirongrong kekuatan kolonial, harus dipahami sebagai periode saat berbagai upaya sistematis dengan sadar dilakukan untuk mengoreksi warisan struktural yang ditinggalkan kolonialisme.

Tetapi justru pada titik itulah kekuatan kolonial, di tengah-tengah situasi perang dingin yang menyelimuti dunia ketika itu, berusaha keras menelikung Soekarno.

Artinya, berakhirnya era Soekarno tidak dapat dilihat semata-mata karena krisis ekonomi. Keterlibatan Amerika Serikat (AS), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia dalam memicu krisis ekonomi Indonesia layak untuk dikaji secara seksama.

***

Logika serupa dapat pula diterapkan untuk memahami kejatuhan Soeharto. Sebagai antitesis dari pemerintahan Soekarno, pemerintahan Soeharto adalah pemerintahan kesayangan kolonial. Lebih-lebih selama era pemerintahan ini, para ekonom sahabat Amerika terus-menerus dipercaya untuk menakhodai penyelenggaraan perekonomian Indonesia.

Namun setelah 32 tahun, di tengah-tengah ketidakpuasan internal yang cenderung meluas, serta tuntutan liberalisasi perdagangan yang dilancarkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), memelihara pemerintahan Soeharto mungkin terasa sudah terlalu mahal ongkosnya.

Dengan latar belakang seperti itu, melihat perkembangan demokrasi semata-mata dari sudut tingkat pendapatan per kapita jelas sangat menyederhanakan masalah.

Lebih dari itu, demokrasi dalam pengertian apakah yang dimaksud Boediono? Boediono memang berkali-kali menekankan demokrasi yang dikembangkan di Indonesia hendaknya tidak hanya demokrasi prosedural. Secara substansial ia harus didukung dengan mengembangkan kelas menengah yang mampu mempertahankan kelanggengan demokrasi.

Walaupun demikian, dari uraian panjang Boediono, sama sekali tidak jelas demokrasi jenis apa yang sedang dibahasnya. Ini penting saya tegaskan, sebab dalam pengertian para bapak pendiri bangsa, demokrasi yang hendak dikembangkan di negeri ini bukanlah demokrasi liberal.

Demokrasi yang hendak dikembangkan di sini, meminjam ungkapan Bung karno, ialah sosio-demokrasi, yaitu suatu bentuk demokrasi yang terdiri dari demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sekaligus. Sebab itu, dalam ungkapan Bung Hatta, 'Jika di sebelah demokrasi politik tidak terdapat demokrasi ekonomi, rakyat belum merdeka.'

Boediono tampaknya sengaja mengabaikan amanat yang antara lain tercantum dalam Pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu. Konsekuensinya, bagi saya, yang perlu dicari korelasinya bukanlah antara tingkat pendapatan per kapita dan demokrasi, melainkan antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik.

Berbagai studi yang diacu Boediono mengenai hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dan demokrasi, saya kira lebih tepat dipahami sebagai preskripsi, yaitu untuk memuja pertumbuhan ekonomi dan melancarkan pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal di negara-negara dunia ketiga.

Dari sudut pandang yang lain, sesungguhnya bukan krisis ekonomi yang menjadi batu sandungan demokrasi, melainkan tingkat demokratisasi ekonomi. Krisis ekonomi, selain bisa direkayasa kekuatan kolonial, hanya akan menjadi batu sandung demokrasi pada tingkat elite.

Pada tingkat rakyat banyak, justru demokrasi tanpa demokrasi ekonomilah yang menjadi sumber malapetaka. Mengapa? Sebagaimana dialami Indonesia saat ini, demokrasi tanpa demokrasi ekonomi ternyata tidak hanya melahirkan petualang-petualang politik. Ia menjadi dasar legitimasi bagi pelembagaan sistem ekonomi pasar neoliberal di negeri ini.

Sebab itu, jika dikaitkan dengan pertanyaan besar yang diajukan dijawab Boediono, mudah dimengerti bila ia dengan tegas menjawabnya dengan kata-kata, 'ya'. Saya, sesuai dengan perspektif yang saya gunakan di sini, tentu akan dengan tegas pula menjawabnya dengan kata-kata, 'tidak'.

Dengan mengemukakan hal itu sama sekali bukan maksud saya untuk menganjurkan agar Indonesia kembali mengisolasi diri, atau agar negeri ini kembali ke era pemerintahan otoriter. Yang ingin saya tegaskan ialah prioritas agenda perekonomian Indonesia ke depan bukanlah pertumbuhan ekonomi dengan embel-embel yang tersebar sekali pun. Melainkan, sesuai dengan cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi, melakukan segala upaya untuk mewujudkan demokrasi ekonomi secepatnya.

Jika dilihat dari sudut pertumbuhan, terus terang saya lebih menekankan kualitas pertumbuhan daripada tinggi atau rendahnya angka pertumbuhan. Artinya, embel-embel yang tersebar saja jauh dari cukup untuk memahami kualitas pertumbuhan.

Pertumbuhan yang berkualitas harus dilihat baik pada segi proses, keberlanjutan, maupun implikasinya terhadap kemandirian ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi yang tersebar, tidak akan bermanfaat jika bersifat teknokratis dan memperdalam cengkeraman neokolonialisme.

Sebagai penutup, ada baiknya saya kemukakan, walaupun saya dan Pak Bud (demikian saya biasanya menyapa beliau), sama-sama berasal dari Fakultas Ekonomi UGM, sudut pandang kami dalam melihat perekonomian Indonesia bertolak belakang 180 derajat.

Khusus mengenai substansi pidato yang disampaikannya, saya merasa agak kesulitan menemukan pribadi Boediono yang pada awal 1980-an pernah menjadi sahabat dekat Prof Mubyarto. Yang terasa menonjol dalam pidato tersebut ialah pribadi Boediono sebagai sahabat dekat William Liddle, yang menurut informasi yang saya peroleh, memang turut terlibat sebagai pembahas penulisan isi pidato itu. Akhirul kalam, saya ucapkan selamat kepada Pak Bud. Semoga perbedaan sudut pandang ini tidak mengganggu kehangatan persahabatan kita.***

Read More......

About Me

My photo
just a humble person seeking all kinds of knowledge beneficial for this life.. Completing study in a complicated country

My YM

Shout me

 

Copyright © 2009 by Asal Taroh