Oct 22, 2005

HANYA ADA DI KETIKA

Hari ini umat muslim sedunia tengah menjalankan ibadah puasa. Berpuasa intinya adalah mengendalikan diri. Kesukaan-kesukaan duniawi seperti makan, minum dst. semuanya tidak diperbolehkan sejak imsak sampai waktu tenggelamnya matahari. Pengendalian diri (self control) tidak hanya pada makan dan minum tapi juga pada maksiat-maksiat yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Bulan Ramadhan, ada yang melihatnya sebagai bulan sakral yang harus dimuliakan. Bulan yang lebih mulia daripada seribu bulan dan diwajibkannya berpuasa bagi setiap Muslim adalah alasan mengapa bulan tersebut patut disakralkan. Selain itu, pahala bagi yang melakukan amal baik pun dilipatgandakan. Namun, ada pula yang beranggapan bahwa bulan Ramadhan tidak pantas disakralkan. Karena, hal itu akan mengakibatkan pada munculnya kesadaran melakukan amal baik secara temporal selama bulan Ramadhan saja. Pemahaman substantif tentang Ramadhan –yaitu pengendalian diri- akan hilang bersamaan dengan berakhirnya bulan tersebut.

Sakralisasi atau desakralisasi Ramadhan sejatinya tak jadi soal jika seorang Muslim beritikad melakukan semua hal yang baik itu sebagai kewajiban. Yakni kewajiban yang tak mengenal bulan, tahun dan masa. Sakralisasi mau tak mau pasti terjadi karena amalan-amalan baik berlipat ganda pahalanya. Sebaliknya, desakralisasi akan berlaku positif ketika amalan tersebut dibarengi kesadaran untuk melakukannya dengan kontinu meski tidak dalam bulan Ramadhan. Dengan demikian, “saleh kumat-kumatan” atau “baik musiman” pada bulan Ramadhan saja tentu bisa dihindari.

Di bulan Ramadhan, umat Islam dalam berpuasa memang dilatih untuk mengendalikan diri. Sesuai ajaran Islam pengendalian diri itu tidak berhenti pada makan dan minum tapi juga pada hal-hal yang tidak terlihat secara kasatmata. Menahan hawa nafsu lah menurut bahasa da’inya. Pemahaman yang baik tentang pengendalian diri tersebut tentu sangat berguna bagi setiap Muslim. Berguna tidak hanya pada tataran hubungan vertikal antara si hamba dengan Sang Khaliknya tapi juga sangat bermanfaat bagi kehidupan sosial antar sesama manusia.

Pengendalian diri yang menyeluruh ini diharapkan mampu dilakukan oleh setiap Muslim. Baik bagi orang kulit hitam maupun putih, laki-laki maupun perempuan, presiden maupun menteri dan baik si kaya maupun si miskin. Dalam beribadah, Islam memang tidak memandang status, apapun tingkatannya.

Ramadhan Bagi Rakyat Indonesia
Bulan Ramadhan tidak hanya sakral, tapi juga bulan yang sangat dirindukan. Sampai-sampai diriwayatkan para Malaikat pun menangis dengan berakhirnya bulan Ramadhan. Memang tampak bahwa Ramadhan adalah bulan suci yang dinanti-nanti. Setiap Muslim tampak bahagia dengan datangnya bulan penuh barakah itu.

Namun, apabila Ramadhan ini dikatakan sebagai bulan penuh barakah dan dirindukan oleh setiap Muslim, rasanya ada yang menggelitik di hati kita. Tentu masih segar dalam sanubari kita, menjelang Ramadhan lalu rakyat Indonesia terlihat sibuk menyambut bulan itu. Tetapi, sibuk mereka bukan untuk menata hati atau mempersiapkan jiwa sepenuhnya kepada Sang Kuasa melainkan sibuk dalam antrian panjang untuk memperoleh BBM yang semakin mahal dan langka.

Dalam beberapa minggu sampai sekarang ini, rakyat Indonesia juga masih teramat sibuk untuk diganggu. Lagi-lagi sibuk bukan karena beribadah dalam bulan suci, tetapi sibuk karena ingin memperoleh dana kompensasi. Saking sibuknya, ada yang pingsan dan bahkan ada yang tidak segan-segan mengorbankan nyawanya demi lembaran uang yang jumlahnya tak seberapa itu.

Ada yang lebih menyakitkan lagi, di tengah pahitnya kehidupan rakyat ini, setiap anggota DPR pada Oktober ini akan mendapat tambahan dana operasional yang mencapai Rp10 juta per bulan. Bukan main, ibaratnya jika beban hidup rakyat sedikit diringankan dengan jumlah uang Rp100 ribu per bulan maka DPR dimakmurkan dengan uang 100 kali lipat lebih banyak.

Naiknya harga BBM di Tanah Air ternyata membuat cemas tidak hanya pada rakyat kecil, pejabat-pejabat tinggi negara juga tampak “ikut-ikutan” gelisah. Gelisah yang tidak pantas dilakukan tetapi tetap berusaha dipantas-pantaskan. Lucu, memang.

Dari kenyataan ini, kentara sekali bahwa pejabat-pejabat tinggi di negara kita sampai saat ini memang belum siap untuk mengerti kewajibannya. Dari nihilnya pengendalian diri sebagai wakil rakyat sampai kelangkaan sikap untuk menunjukkan rasa pengertian kepada mereka yang hidup susah.

Kesiapan mental pada pejabat negara kita memang belum terlatih sampai saat ini. Boro-boro siap miskin, siap untuk mengerti tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat saja sulit ditemukan.

Pak Tajir Yang Langka
Rasanya di negeri ini adalah hal yang ajaib jika ada sosok Pak Tajir Saldono yang terdapat dalam film “Ketika”. Iya, sosok orang kaya yang mengerti tanggung jawab dan tuntutan hidup. Dari status konglomerat berubah menjadi sopir bajai dan malah berhutang budi kepada pembantunya sendiri.

Film garapan Deddy Mizwar ini memperlihatkan betapa langkanya sosok berkepribadian Pak Tajir dalam negeri ini. Dari 17 konglomerat kaya yang bangkrut hanya Pak Tajirlah yang berusaha survive dan tidak mengakhiri hidupnya secara paksa. Dia memahami, bunuh diri tidak memecahkan masalah dalam keluarganya bahkan memperpuruk keadaan.

Bukan hanya itu, Pak Tajir merasa gengsi dan marah ketika mengetahui pembantunya membuka tabungannya guna membayar tagihan listrik rumah. Apalagi saat lemari es di rumahnya diisi dengan daging dan sayuran untuk makan mereka. Hal itu telah membuat hati Pak Tajir tersayat habis.

Sebenarnya bukan hanya Pak Tajir yang memiliki kesadaran memahami hidup. Istri dan putrinya, Mutiara juga mengerti tuntutan hidup ini. Sosok Mutiara yang rupawan rela menarik dan memandikan sapinya yang kotor. Tak terbayang tentunya dalam benak kita seorang cewek cantik yang biasa dimanja dapat melakukan hal itu.

Film hasil sutradara kondang ini memang sarat dengan kritik sosial dan pesan moral. Sebuah kritik karena hal itu masih menjadi barang langka dalam kehidupan pejabat dan pengusaha di negeri ini. Menjamurnya korupsi dan praktik penyelewengan-penyelewengan uang rakyat yang masih nyaring kita dengar adalah bukti kecil bahwa para pejabat di negeri ini masih enggan untuk siap hidup seperti Pak Tajir Saldono.

Bagaimanapun, memang Pak Tajir adalah pak Tajir, dan bukan pejabat negara kita yang tidak siap hidup sederhana apalagi susah. Pak Tajir adalah konglomerat kaya yang jatuh miskin, namun hatinya tetap kaya. Contoh sosok yang malu jika dibantu orang yang papa seperti pembantunya. Lagi-lagi Pak Tajir adalah Pak Tajir yang hanya ada di film “Ketika”. Allahu A’lam.

Islamabad, 22-10-2005

0 10:

Post a Comment

About Me

My photo
just a humble person seeking all kinds of knowledge beneficial for this life.. Completing study in a complicated country

My YM

Shout me

 

Copyright © 2009 by Asal Taroh